
Oleh: Angelica Faevita
Wanita merupakan salah satu sumber daya yang potensinya tak boleh kita pandang sebelah mata. Sejak dahulu kala, wanita telah menjadi tonggak utama dalam hal mengurus urusan rumah tangga masyarakat Indonesia pada umumnya, ketika para pria atau suami-suami mereka berjuang keras mencari nafkah. Mundur ke beberapa dekade atau bahkan beberapa abad lalu, wanita di Indonesia tidak dapat mengenyam pendidikan dan memperkaya diri dengan ilmu karena tataran sosial masyarakat yang membelenggu kebebasan wanita untuk menjadi setara dengan laki-laki.
Keadaan mulai berubah semenjak fenomena emansipasi wanita yang dipelopori oleh R. A. Kartini dimulai di era 1900-an. Surat-surat Ibu Kartini beserta pemikiran kritis dan angan-angannya mulai terungkap dan membuka mata khalayak luas. Sebagian besar tulisan dalam surat-suratnya menggambarkan tentang kondisi perempuan pribumi di kala itu dan betapa inginnya beliau untuk menuntut ilmu dan belajar. Beliau juga mengungkapkan sedikit banyak mengenai pengaruh adat Jawa dan agama yang mengekang kaum perempuan untuk maju dan mencapai pendidikan. Berkat beliau, upaya pergerakan wanita pun mulai nyaring disuarakan. Muncullah harapan baru bagi wanita untuk mengoptimalkan potensinya.
Bicara mengenai potensi wanita, ada baiknya kita menyimak data berikut:
Tahun |
1971 |
1980 |
1990 |
1995 |
2000 |
2005 |
2010 |
Jumlah Penduduk |
119,208,229 |
147,490,298 |
179,378,946 |
194,754,808 |
206,264,595 |
218,086,288 |
237,641,326 |
Rasio Jenis Kelamin |
97.18 |
98.82 |
99.45 |
99.09 |
100.6 |
101.05 |
– |
* sumber: Badan Pusat Statistik
*perhitungan sex ratio= (jumlah penduduk laki-laki / jumlah penduduk wanita) x 100
Berdasarkan rumus perhitungan sex ratio di atas, dapat kita interpretasikan bahwa di tahun 1971, di setiap 100 penduduk perempuan, terdapat 97.18 penduduk laki-laki; sedangkan di tahun 2005, di setiap 100 penduduk perempuan, terdapat 101.05 penduduk laki-laki. Jika kita telaah lebih lanjut, dapat kita lihat bahwa sebenarnya jumlah penduduk wanita dan laki-laki di Indonesia tidak berbeda jauh, bahkan dapat kita katakan hampir 50% banding 50%. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa potensi wanita Indonesia jika dilihat dari jumlahnya, tentunya tidaklah kalah dibandingkan dengan potensi pria. Namun pertanyaannya, apakah pemberdayaan perempuan masa kini telah dirasa optimal?
Jawabannya adalah tidak. Selain masih terpengaruh sisa-sisa kebudayaan jaman sebe-lum emansipasi, data pun menunjukkan hal yang serupa. Menurut data Susenas (2000), wanita yang berhasil menyelesaikan pendidikan SLTP ke atas baru mencapai 36,9% dan 46,0% untuk laki-laki. Menurut data dari BPS (2011), persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf menunjukkan angka 4,01% untuk laki-laki dan 8,88% untuk wanita. Selain itu, persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah sekolah menunjukkan angka 3,38% untuk laki-laki dan 8,05% untuk wanita.
Data-data diatas menunjukkan bahwa dewasa ini wanita masih saja tertinggal dibandingkan dengan kaum laki-laki. Wanita masih belum mendapat akses terhadap pengetahuan dan pendidikan yang layak dan setara dengan laki-laki. Hal ini lah kendala utama yang menghambat perkembangan potensi wanita Indonesia, disamping hambatan-hambatan lainnya seperti adat, agama, dan birokrasi.
Kesimpulan yang dapat kita tarik, ialah potensi wanita sesungguhnya sangatlah besar, dilihat dari jumlahnya yang tidak kalah dengan jumlah laki-laki. Namun hambatan edukasi dan pendidikan telah cukup lama menghambat masyarakat Indonesia pada umumnya dan wanita Indonesia pada khususnya untuk berkontribusi serta berdaya bagi kemajuan Indonesia. Bayangkan bila masalah pendidikan dapat teratasi dan wanita semakin mampu berdayaguna bagi pembangunan Indonesia, efeknya tentu akan sangat luar biasa!
Sumber:
Aliansi Perempuan untuk Pembangunan Berkelanjutan. (2008). Sinergi Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: PT. Penerbit Djambatan.